Surat pertama untuk mereka yang tidak pernah kebetulan lewat di garis kehidupan. Liburan sedetik di tengah tugas mahahsiswa semester tanggung adalah sebuah keharusan.
Ini... surat terakhir untukmu. Terima kasih sudah mengembalikan hatiku walau sudah enggak berbentuk. Aku bersyukur pernah dibuat remuk, karena hari ini aku jadi tahu kalau tidak selalu yang ingin aku genggam adalah yang juga baik untukku.
Untukmu yang waktu itu ke-PD-an. Hahaha. Surat ini ditulis untuk ayahku, tapi waktu itu ada orang lain yang merasa terganggu, katanya aku enggak usah nulis-nulis lagi tentang dia, padahal kan ini..... ya sudahlah.
Untuk sahabatku tersayang! Doanya sama setiap ulang tahunmu, semoga selalu baik-baik saja di mana pun berada. Semoga doa ini selalu sampai walau kita udah enggak lagi saling sapa.
Aku membacanya sambil menahan tawa, karena hari ini, semua yang kuceritakan dalam surat ini jadi terasa lebih lucu untukku. Maaf ya, aku jadi kilas balik terlalu jauh. Semoga masih berkenan mendengarkan.
Lanjutan yang kemarin. Betapa senangnya aku pada hari itu. Setidaknya mungkin sepekan setelah surat itu dibuat, akhirnya aku bisa tidur nyenyak. Apa kabar ya, mereka?
Di sini, merelakanmu terdengar lebih... mudah dan singkat. Tapi juga terdengar lebih melegakan. Terlebih, pertanyaan itu akhirnya kujawab dengan sejujur-jujurnya. Sekarang, bagaimana jawabanmu?
Aku ingat sekali siapa saja yang kusebut di sini. Semua nama yang kusebut di sini bukan nama yang sebenarnya. Mereka teman-teman dari masa yang telah berlalu. Surat ini membuka lagi ingatan yang sudah lama terkubur, menampilkan lembar kenangan